KARAKTERISTIK
ANAK BERKEMAMPUAN KHUSUS
1.
Kelainan
Fisik
Anak yang memiliki kekurangan fisik
termasuk dalam kategori anak berkebutuhan khusus. Hal ini karena kekurangan
fisik yang dimiliki seseorang menghambat interaksinya dengan lingkungan. Maka
anak dengan kekurangan fisik membutuhkan layanan khusus agar bisa mengembangkan
potensi yang dimilikinya (Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 17). Karakteristik
anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan fisik, yaitu tunanetra,
tunarungu, dan tunadaksa.
1)
Karakteristik Anak Tunanetra
Anak tunanetra adalah anak-anak yang
mengalami kelainan atau gangguan fungsi pengelihatan, yang dinyatakan dengan
tingkat ketajaman pengelihatan atau visus sentralis di atas 20/200 dan secara
pedagogis membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajarnya di sekolah
(Suparno, 2007). Tunanetra merupakan salah satu klasifikasi bagi anak yang
memiliki kebutuhan khusus dengan ciri adanya hambatan pada indra penglihatan
(Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 17). Berkaitan dengan hal psikologis,
anak-anak berkebutuhan khusus ini lebih sering pula mengalami gangguan. Secara
kognitif, gangguan yang dialami misalnya salah dalam mempersepsikan sesuatu.
Dalam hal kemampuan motorik tentu saja hambatannya juga tinggi seperti
pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan mengetahui adanya bahaya
dan cara menghadapinya, keterampilan gerak yang serba terbatas, serta kurangnya
keberanian dalam melakukan sesuatu. Secara emosional, anak-anak penyandang
tunanetra mengalami hambatan dalam pengelolaan emosi. Perkembangan emosi anak
tunanetra sering terhambat karena mereka masih harus banyak belajar untuk
menyatakan emosi dengan tepat. Secara sosial pun mereka pasti akan lebih sulit
untuk melakukan penyesuaian diri di masyarakat. Hambatan tersebut misalnya
minder, takut atau cemas jika ditolak atau dicaci, malu, hingga rendahnya
motivasi.
Beberapa karakteristik anak-anak
tunanetra, (Suparno, 2007) adalah sebagai berikut.
a. Segi
Fisik
Secara fisik anak-anak
tunanetra, nampak sekali dari adanya kelainan pada organ pengelihatan atau
mata, yang secara nyata dapat dibedakan dengan anak-anak normal pada umumnya.
Hal ini terlihat dari aktivitas mobilitas dan respon motorik yang merupakan
umpan balik dari stimuli visual.
b. Segi
Motorik
Hilangnya indera pengelihatan
sebenarnya tidak berpengaruh secara langsung terhadap keadaan motorik anak
tunanetra, tetapi dengan hilangnya pengalaman visual menyebabkan tunanetra
kurang mampu melakukan orientasi lingkungan. Sehingga tidak seperti anak-anak
normal, anak tunanetra harus belajar bagaimana berjalan dengan aman dan efisien
dalam suatu lingkungan dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.
c. Perilaku
Kondisi tunanetra tidak
secara langsung menimbulkan masalah atau penyimpangan perilaku pada diri anak,
meskipun demikian hal tersebut berpengaruh pada perilakunya. Anak tunanetra
sering menunjukkan perilaku stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak
semestinya. Manifestasi perilaku tersebut dapat berupa sering menekan matanya,
membuat suara dengan jarinya, menggoyang-goyangkan kepala dan badan, atau
berputar-putar. Ada beberapa teori yang mengungkapkan mengapa tunanetra
kadang-kadang mengembangkan perilaku stereotipnya. Hal itu terjadi mungkin
sebagai akibat dari tidak adanya rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan
gerak di dalam lingkungan, serta keterbatasan sosial. Untuk mengurangi atau
menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka memperbanyak aktifitas,
atau dengan mempergunakan strategi perilaku tertentu, seperti memberikan pujian
atau alternatif pengajaran, perilaku yang lebih positif, dan sebagainya.
d. Akademik
Secara umum kemampuan
akademik, anak-anak tunanetra sama seperti anak-anak normal pada umumnya.
Keadaan ketunanetraan berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademis,
khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Dengan kondisi yang demikian, maka
tunanetra mempergunakan berbagai alternatif media atau alat untuk membaca dan
menulis, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin mempergunakan
huruf Braille atau huruf cetak dengan berbagai alternative ukuran. Dengan
asesmen dan pembelajaran yang sesuai, tunanetra dapat mengembangkan kemampuan
membaca dan menulisnya seperti teman-teman lainnya yang dapat melihat.
e. Pribadi
dan Sosial
Mengingat tunanetra
mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan menirukan, maka
anak tunanetra sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang
benar.
Sebagai akibat dari
ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial, anak tunanetra
perlu mendapatkan latihan langsung dalam bidang pengembangan persahabatan,
menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik,
mempergunakan gerakkan tubuh dan ekspresi wajah, mempergunakan intonasi suara
atau wicara dalam mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada
waktu melakukan komunikasi.
Pengelihatan memungkinkan
kita untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tetapi tunanetra
mempunyai keterbatasan dalam melakukan gerakan tersebut. Keterbatasan tersebut
mengakibatkan keterbatasan dalam memperoleh pengalaman dan juga berpengaruh
pada hubungan sosial. Dari keadaan tersebut mengakibatkan tunanetra lebih
terlihat memiliki sikap:
a) Curiga
yang berlebihan pada orang lain, ini disebabkan oleh kekurangmampuannya dalam
berorientasi terhadap lingkungannya.
b) Mudah
tersinggung. Akibat pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan atau
mengecewakan yang sering dialami, menjadikan anak-anak tunanetra mudah
tersinggung.
c) Ketergantungan
pada orang lain. Anak-anak tunanetra umumnya memiliki sikap ketergantungan yang
kuat pada orang lain dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Kondisi yang
demikian umumnya wajar terjadi pada anak-anak tunanetra berkenaan dengan
keterbatasan yang ada pada dirinya.
2)
Karakteristik Anak Tunarungu
Menurut
Suparno (2007), tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi
ketidakfungsian organ pendengaran atau telinga seseorang anak. Disamping itu, penyandang
kelainan pendengaran atau tunarungu, yaitu orang yang mengalami kehilangan
kemampuan pendengaran, baik sebagian (hard
of hearing) maupun keseluruhan (deaf)
(Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 26). Seseorang yang masuk kategori hard of hearing, yaitu orang yang
mengalami kehilangan pendengaran <90 Db dan harus menggunakan alat bantu
dengar untuk membantu pendengarannya. Sementara orang yang masuk kategori deaf, yaitu orang yang mengalami
kehilangan pendengaran hingga 90 Db2 dan organ pendengarannya sudah tidak mampu
lagi mendengarkan suara apa pun.
Pada
umumnya, seseorang yang menderita tunarungu juga akan menderita tunawicara. Hal
ini berkaitan erat dengan proses perkembangan bahasa yang harus dilalui seorang
anak. Jika ketajaman pendengaran terbatas, akan menghalangi proses peniruan bahasa
semasa anak–anak. Menurut Kosasih (dalam Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 27),
proses peniruan hanya terbatas secara visual, sebab pada anak–anak penyandang
tunarungu, segala bentuk rangsangan suara tidak dapat diterima dengan baik.
Alhasil mereka pun sulit menghasilkan suara seperti yang ada disekitarnya.
Disamping itu, hal yang membedakan anak normal dengan anak berkebutuhan khusus
penyandang tunarungu ialah ketidaksinkronan antara penerima stimulus dan bentuk
respon yang dihasilkan terhambat oleh lemahnya atau bahkan hilangnya ketajaman
pendengaran.
Kondisi
ini menyebabkan mereka memiliki karakteristik yang khas, berbeda dari anak-anak
normal pada umumnya. Beberapa karakteristik anak tunarungu (Suparno, 2007),
diantaranya adalah :
a. Segi
Fisik
a) Cara
berjalanannya kaku dan agak membungkuk. Akibat terjadinya permasalahan pada organ
keseimbangan pada telinga, menyebabkan anak-anak tunarungu mengalami
nkekurangseimbangan dalam aktivitas fisiknya.
b) Pernapasannya
pendek, dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak pernah mendengarkan
suara-suara dalam kehidupan sehari-hari., bagaimana bersuara atau mengucapkan
kata-kata dengan intonasi yang baik, sehingga mereka juga tidak terbiasa
mengatur pernapasannya dengan baik, khususnya dalam berbicara.
c) Cara
melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan salah satu indera yang paling
dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu, dimana sebagian besar
pengalamannya diperoleh melalui penglihatan. Oleh karena itu anak-anak
tunarungu juga dikenal sebagai anak visual, sehingga cara melihatpun selalu
menunjukan keingintahuan yang besar dan terlihat beringas.
b. Segi
Bahasa
a)
Miskin akan kosa kata.
b)
Sulit mengartikan kata-kata yang
mengandung ungkapan, atau idiomatic.
c)
Tata bahasanya kurang teratur.
c.
Intelektual
a)
Kemampuan intelektualnya normal. Pada
dasarnya anak-anak tunarungu tidak mengalami permasalahan dalam segi
intelektual. Namun akibat keterbatasan dalam berkomunikasi dan berbahasa,
perkembangan intelektual menjadi lamban.
b)
Perkembangan akademiknya lamban akibat
keterbatasan bahasa. Seiring terjadinya kelambanan dalam perkembangan
intelektualnya akibat adanya hambatan dalam berkomunikasi, maka dalam segi
akademiknya juga mengalami keterlambatan.
d.
Sosial-emosional
a)
Sering merasa curiga dan buruk sangka.
Sikap seperti ini terjadi akibat adanya kelainan fungsi pendengarannya. Mereka
tidak dapat memahami apa yang dibicarakan orang lain, sehingga anak-anak
tunarungu mudah merasa curiga.
b)
Sering bersikap agresif.
3)
Karakteristik Tunawicara
Kesulitan wicara
biasanya dialami anak-anak yang juga menderita kelainan pendengaran. Seseorang
yang organ pendengarannya tidak berfungsi dengan baik, otomatis tidak dapat
mempelajari bunyi-bunyian yang ada disekitarnya. Maka, untuk menghasilkan suara
atau mengatakan sesuatu akan turut terhambat. Menurut Kosasih (dalam Pratiwi
dan Murtiningsih, 2013: 31), gangguan kesulitan wicara yang sering dijumpai
kesalahan adalah dalam pengucapan fonem, baik dalam posisi depan, tengah,
maupun belakang. Menurut Abdurrachman dan Sudjadi (1994), gangguan wicara atau
tunawicara adalah suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dari
bunyi bicara dan atau kelancaran berbicara.
Gangguan bicara
atau bisu diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk berbicara. Bisu
disebabkan oleh gangguan pada organ-organ, seperti tenggorokan, pita suara,
paru-paru, mulut, lidah dan sebagainya. gangguan bicara bisa juga diartikan
sebagai adanya keterlambatan pada anak dalam menggunakan bahasa sehari-hari.
Keterlambatan yang dimaksud, yakni anak tidak mengalami perkembangan dalam
pemerolehan bahasa sesuai tahapan perkembangan usianya. Bentuk keterlambatan
dapat dideteksi dari hal-hal sederhana, seperti anak mengeluarkan suara yang
sengau, tidak mampu menggunakan bahasa yang sering diucapkan anggota keluarga,
sulit dalam mengucapkan sesuatu, dan adanya ketidakmampuan mekanisme oral-motor
saat makan.
Beberapa perilaku
berikut termasuk kategori gangguan wicara, antara lain sebagai berikut.
a.
Gangguan perkembangan artikulasi adalah
suatu kondisi ketika suara atau bahasa yang digunakan seseorang diganti,
dihilangkan, ditambah, atau didistorsikan. Sementara kelainan suara merupakan
kelainan karena seseorang tidak menggunakan suara wicara secara semestinya atau
sesuai dengan aturan standar.
b.
Gagap merupakan gangguan bicara yang
disebabkan arus bicara terganggu karena adanya perpanjangan atau pengulangan
suara, suku kata, kata, ataupun frasa. Seseorang yang gagap akan sulit
mengungkapkan apa yang akan dibicarakannya.
c.
Terlambat bicara dan bahasa merupakan
keadaan seorang anak yang belum mampu menguasai keterampilan berbicara diatas
usia normal (sekitar 2 tahun). Hal ini bisa disebabkan oleh factor bawaan dan
factor lingkungan yang kurang memberikan contoh maupun stimulasi kepadanya.
d.
Gangguan dyspasia dan aphasia adalah
terjadinya ketidakmampuan seseorang untuk berbicara karena adanya cedera pada
otak.
e.
Gangguan disintegratif pada anak-anak
merupakan gangguan kompleks yang memperngaruhi berbagai bidang perkembangan
bahasa.
f.
Gangguan multisystem development disorder merupakan gangguan pada anak yang
menyebabkan mereka memiliki permasalahan sosial, komunikasi, dan proses sensori
terhadap satu hal atau benda.
4)
Karakteristik Tunadaksa
Tunadaksa atau cacat
fisik addalah sebutan bagi orang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi
anggota tubuhnya karena factor bawaan sejak lahir (dalam Pratiwi dan
Murtiningsih, 2013: 38). Gangguan yang dialami menyerang kemampuan motorik
mereka. Gangguan yang tejadi mulai dari gangguan otot, tulang, sendi dan atau sistem
saraf yang mengakibatkannya kurang optimalnya fungsi komunikasi, mobilitas,
sosialisasi, dan perkembangan keutuhan pribadi Rachmayana (dalam Pratiwi dan
Murtiningsih, 2013: 38).
Ketunadaksaan yang
dialami seseorang, baik sejak lahir maupun selama proses kehidupan setelah
kelahiran, sama-sama memiliki pengaruh psikologis. Secara psikologis, mereka
cenderung lebih merasa rendah diri, apatis, sensitif, dan kadang muncul egoisme
yang tinggi. Bentuk-bentuk perilaku tersebut merupakan cara mereka untuk menutupi
kecemasan atas ketidaksempurnaan yang dimiliki dan takut tidak diterima di
lingkungan.
Berikut ini ciri-ciri
yang dimiliki penyandang tunadaksa (Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 41), yaitu
sebagai berikut.
a.
Segi motorik
Anak penyandang
tundaksa secara motorik mengalami banyak hambatan antara lain sukar berjalan, bergerak,
berpindah tempat, dan sering tidak mampu mengontrol koordinasi tubuh.
b.
Segi sensoris
Otak merupakan
pusat sensoris pada manusia. Bagaimana tubuh manusia bisa melihat, mendengar,
berbicara, dan bergerak semuanya berpusat di otak. Jika otak mengalami
gangguan, akan menyebabkan kelainan di bagian-bagian saraf yang lain. Seperti
gangguan penglihatan, pendengaran, dan saraf-saraf lain yang menghubungkan
dengan sendi-sendi atau otot tubuh. Pada penderita Cerebral Palsy, misalnya
akan mengalami kelainan penglihatan berupa juling, penglihatan ganda
strabismusm, miopi, presbiopi dan rabun.
c.
Segi kognisi
Secara kognisi,
penyandang tunadaksa kategori Cerebral Palsy memiliki rentang kecerdasan tertentu
mulai dari yang rendah hingga tinggi. Level kecerdasan paling rendah disebut
idiot. Sementara untuk level kecerdasan paling tinggi disebut gifted atau anak berbakat.
d.
Segi persepsi
Persepsi
berhubungan dengan keutuhan indra dan proses pengolahan di otak. Proses ini
tidak sempurna pada anak penyandang tunadaksa. Kecacatan fisik akibat
kecelakaan maupun kelainan pada otak yang menyebabkan keabnormalan fisik juga
mempengaruhi fungsi persepsi anak. Anak-anak penyandang tunadaksa dalam
menanggapi stimulus sering tidak sinkron dengan respons yang dihasilkan. Hal
ini karena terdapat gangguan pada saraf penghubung dan jaringan saraf otak pada
anak tunadaksa Cerebral Palsy.
e.
Segi emosi dan sosial
Anak-anak yang
teridentifikasi tunadaksa sering mengalami gangguan atau masalah emosi.
Berkaitan dengan konsep diri, mereka sering merasa malu, rendah diri, dan
sensitif. Konsep diri yang salah ini akhirnya menumbuhkan gaya berhubungan
sosial yang keliru. Ketika mereka memandang diri sendiri rendah, yang muncul
adalah sikap defense ketika berbaur
dengan orang lain.
Sedangkan menurut Suparno
(2007), anak tunadaksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau
cacat tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami kelainan
anggota gerak dan kelumpuhan yang disebabkan karena kelainan yang ada di syaraf
pusat atau otak, disebut sebagai cerebral palcsy (CP), dengan karakteristik
sebagai berikut.
a.
Gangguan motorik
Gangguan
motoriknya berupa kekakuan, kelumpuhan, gerakan yang tidak dapat dikendalikan,
gerakan ritmis dan gangguan keseimbangan. Gangguan motorik ini meliputi
gangguan motorik kasar dan halus.
b.
Gangguan sensorik
Pusat sensoris
pada manusia terletak pada otak, mengingat anak cerebral palcsy adalah anak
yang mengalami kelainan di otak, maka sering anak cerebral palcsy disertai
gangguan sensorik. Beberapa gangguan sensorik antara lain penglihatan,
pendengaran, perabaan, penciuman, dan perasa. Gangguan penglihatan pada cerebral
palcsy terjadi karena ketidakseimbangan otot-otot mata sebagai akibat kerusakan
otak. Gangguan pendengaran pada anak cerebral palcsy sering dijumpai pada jenis
athetoid.
c.
Gangguan tingkat kecerdasan
Walaupun anak cerebral palcsy disebabkan
karena kelainan otaknya tetapi keadaan kecerdasan anak cerebral palcsy mulai
dari tingkat yang paling rendah sampai gifted. Sekitar 45% mengalami
keterbelakangan mental, dan 35% lagi memiliki tingkat kecerdasan normal diatas
rata-rata, dan sisanya di bawah rata-rata.
d.
Kemampuan Berbicara
Anak cerebral
palcsy mengalami gangguan wicara yang disebabkan oleh kelainan motorik
otot-otot wicara terutama pada organ artikulasi seperti lidah, bibir, rahang
bawah, dan ada pula yang terjadi karena kurang dan tidak terjadi proses
interaksi dengan lingkungan. Dengan keadaan yang demikian maka keadaan
anak-anak cerebral palcsy menjadi tidak jelas dan sulit diterima orang lain.
e.
Emosi dan Penyesuaian Sosial
Respon
dan sikap masyarakat terhadap kelainan pada anak cerebral palcsy, mempengaruhi
pembentukan pribadi anak secara umum. Emosi anak sangat bervariasi, tergantung
rangsangan yang diterimanya. Secara umum tidak terlalu berbeda dengan anak-anak
normal, kecuali beberapa kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dapat menimbulkan
emosi yang tidak terkendali. Sikap atau penerimaan masyarakat terhadap anak
cerebral palcsy dapat memunculkan keadaan anak yang merasa rendah diri atau
kepercayaan dirinya kurang, mudah tersinggung, dan suka menyendiri, serta
kurang dapat menyesuaikan diri dan bergaul dengan lingkungan.
Sedangkan
anak-anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan kerusakan pada otot
motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio dan muscle bystrophy
lain mengakibatkan gangguan motorik terutama gerakan lokomosi, gerakan
ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagaian anak dengan gangguan gerak yang berat,
ringan, dan sedang. Untuk berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat
bantu dalam memenuhi kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak. Dalam
kehidupan sehari-hari anak perlu bantuan dan alat yang sesuai. Keadaan kapasitas
kemampuan intelektual anak yang mengalami gangguan gerak otot ini tidak berbeda
dengan anak normal.
2. Kelainan Mental-Emosional
Karakteristik anak
berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan mental emosional, yaitu anak
tunagrahita, dan tunalaras.
1)
Karakteristik Anak Tunagrahita
Tunagrahita
(Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 45), merupakan istilah bagi mereka yang
memiliki keterbelakangan mental. Banyak istilah lain yang dikaitkan dengan
tunagrahita, yaitu lemah pikiran, keterbelakangan mental, mampu didik, mampu
latih, ketergantungan penuh, mental subnormal, defisit mental dan defisit
kognitif, cacat mental atau defisiensi, dan gangguan intelektual. Ada beberapa ciri yang mengikuti
keterbelakangan mental, sebagai berikut.
a.
Memiliki
IQ di bawah normal, yaitu sekitar di bawah 80.
b.
Tidak
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan (adaptasi rendah).
c.
Tidak
mampu memikirkan permasalahan yang berbelit dan abstrak.
d.
Lemah
dalam pelajaran yang bersifat akademik, seperti menulis, membaca, berhitung,
dan turunannya.
Karakteristik anak
tunagrahita secara umum menurut James D. Page (dalam Suparno, 2007), dicirikan
dalam hal: kecerdasan, sosial, fungsi mental, dorongan dan emosi, kepribadian
serta organisme.
a.
Intelektual
Dalam pencapaian
tingkat kecerdasan bagi tunagrahita selalu dibawah rata-rata dengan anak yang
usia sama, demikian juga perkembangan kecerdasan sangat terbatas. Mereka hanya
mampu mancapai tingkat usia mental setingkat usia mental anak sekolah Dasar
kelas IV, atau kelas II, bahkan ada yang mampu mencapai tingkat usia mental
setingkat usia mental anak pra sekolah. Dalam hal belajar, sukar memahami
masalah. Masalah yang bersifat abstrak dan cara belajarnya banyak secara membeo
(rote learning) bukan dengan
pengertian.
b.
Segi sosial
Dalam kemampuan
bidang sosial juga mengalami kelambatan kalau dibandingkan dengan anak normal
sebaya. Hal ini ditunjukkan dengan pergaulan mereka tidak dapat mengurus,
memelihara, dan memimpin diri. Semasa kanak-kanak mereka harus dibantu terus
menerus, disuapi makanan, dipasangkan dan ditanggalkan pakaiannya, diawasi
terus-menerus, setelah dewasa kepentingan ekonominya sangat bergantung pada
bantuan orang lain. kemampuan sosial mereka ditunjukkan dengan social age (SA)
yang sangat kecil dibandingkan dengan chronological age (CA). sehingga scor
Social Quotient (SQ) nya rendah.
c.
Ciri pada fungsi mental lainnya
Mereka mengalami
kesukaran dalam memusatkan perhatian, jangkauan perhatiannya sangat sempit dan
cepat beralih sehingga kurang tangguh dalam menanggapi tugas. Pelupa dan
mengalami kesukaran mengungkapkan kembali suatu ingatan, kurang mampu membuat
asosiasi serta sukar membuat kreasi baru
d.
Ciri dorongan dan emosi
Perkembangan
dorongan emosi anak tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan tingkat
ketunagrahitaannya masing-masing. Anak yang ketunagrahitaannya berat ataupun
sangat berat hampir tidak memperlihatkan dorongan untuk mempertahankan diri,
dalam keadaan haus dan lapar tidak menunjukkan tanda, mendapat perangsang yang
menyakitkan tidak mampu menjauhkan diri dari perangsang tersebut. Kehidupan
emosinya lemah, dorongan biologisnya dapat berkembang tetapi penghayatannya
terbatas pada perasaan senang, takut, marah, dan benci. Anak yang tidak terlalu
berat ketunagrahitaannya mempunyai emosi yang hampir sama dengan anak normal
tetapi kurang kuat, kurang beragam, kurang mampu menghayati perasaan bangga,
tanggungjawab dan hak sosial.
e.
Ciri kemampuan dalam bahasa
Kemampuan bahasa
sangat terbatas perbendaharaan kata terutama kata yang abstrak. Pada anak yang
ketunagrahitaannya semakin tinggi atau berat banyak yang mengalami gangguan
bicara disebabkan cacat artikulasi dan problem dalam pembentukan bunyi.
f.
Ciri kemampuan dalam bidang akademis
Mereka sulit
mencapai bidang akademis membaca dan menghitung yang problematis, tetapi dapat
dilatih dalam menghitung yang bersifat perhitungan.
g.
Ciri kepribadian
Kepribadian anak
tunagrahita dari berbagai penelitian oleh Leahy, Balla, dan Zigler (Hallahan
& Kauffman, 1988:69) bahwa anak yang merasa retarded tidak percaya
terrhadap kemampuannyan, tidak mampu mengontrol dan mengarahkan dirinya
sehingga lebih banyak bergantung pada pihak luar (external locus of control).
Mereka tidak mampu untuk mengarahkan diri sehingga segala sesuatu yang terjadi
pada dirinya bergantung pengarahan dari luar.
h.
Ciri kemampuan dalam organisme
Kemampuan anak
tunagrahita untuk mengorganisasi keadaan dirinya sangat jelek, terutama pada
anak tunagrahita yang kategori berat. Hal ini ditunjukan dengan baru dapat
berjalan dan berbicara pada usia dewasa, sikap gerak langkahnya kurang serasi,
pendengaran dan pengelihatannya tidak dapat difungsikan, kurang rentan terhadap
perasaan sakit, bau yang tidak enak, serta makanan yang tidak enak.
Sedangkan karakteristik
anak tunagrahita, yang lebih spesifik berdasarkan berat ringannya kelainan,
yaitu sebagai berikut.
a.
Mampudidik
Mampudidik
merupakan istilah pendidikan yang digunakan untuk mengelompokkan tunagrahita
ringan. Mampudidik memiliki kapasitas intelegensi antara 50-70 pada skala Binet
maupun Weschler. Mereka masih mempunyai kemampuan untuk dididik dalam bidang
akademik yang sederhana (dasar) yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Anak
mampudidik kemampuan maksimalnya setara dengan anak usia 12 tahun atau kelas 6
sekolah dasar, apabila mendapatkan layanan dan bimbingan belajar yang sesuai
maka anak mampudidik dapat lulus sekolah dasar. Anak mampu didik setelah dewasa
masih memungkinkan untuk dapat bekerja mencari nafkah, dalam bidang yang tidak
memerlukan banyak pemikiran. Tunagrahita mampudidik umumnya tidak disertai
kelainan fisik baik sensori maupun motoris, sehingga kesan lahiriah anak
mampudidik tidak berbeda dengan anak normal sebaya, bahkan sering anak mampu
didik dikenal dengan terbelakang mental 6 jam. Hal ini dikarenakan anak
terlihat terbelakang mental sewaktu mengikuti pelajaran akademik di sekolah
saja, yang mana jam sekolah adalah 6 jam setiap hari.
b.
Mampulatih
Tunagrahita
mampulatih secara fisik sering memiliki atau disertai dengan kelainan fisik
baik sensori maupun motoris bahkan hampir semua anak yang memiliki kelainan
dengan tipe klinik masuk pada kelompok mampulatih sehingga sangat mudah untuk
mendeteksi anak mampulatih, karena penampilan fisiknya (kesan lahiriah) berbeda
dengan anak normal sebaya. Anak mampulatih memiliki kapasitas intelegensi (IQ)
berkisar antara 30-50, kemampuan tertingginya setara dengan anak normal usia 8
tahun atau kelas 2 SD. Kemampuan akademik anak mampulatih tidak dapat mengikuti
pelajaran yang bersifat akademik walaupun secara sederhana seperti membaca,
menulis dan berhitung. Anak mampulatih hanya mampu dilatih dalam ketrampilan
mengurus diri sendiri dan aktifitas kehidupan sehari-hari.
c.
Perlurawat
Anak
perlurawat adalah klasifikasi anak tunagrahita yang paling berat, jika pada
istilah kedokteran disebut idiot. Anak perlurawat memiliki kapasitas
intelegensi dibawah 25 dan sudah tidak mampu dilatih keterampilan. Anak ini
hanya mampu dilatih pembiasaan (conditioning) dalam kehidupan sehari-hari.
Seumur hidupnya tidak dapat lepas dengan orang lain.
2)
Karakteristik Anak Tunalaras
Anak tunalaras
(dalam Suparno, 2007) adalah anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, yang
ditunjukkan dalam aktifitas kehidupan sehari-hari baik disekolah maupun dalam
lingkungan sosialnya. Pada hakikatnya anak-anak tunalaras memiliki kemampuan
intelektual yang normal, atau tidak berada dibawah rata-rata. Kelainan lebih
banyak terjadi pada perilaku sosialnya. Sedangkan Tunalaras adalah anak-anak yang mengalami gangguan
kepribadian terlebih pada emosi mereka. Anak-anak ini akhirnya menjadi
anak-anak yang kurang bisa diterima oleh lingkungan pergaulan. Hal ini karena
mereka kurang bisa menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku. Ketika mereka
merasa tertekan, bisa saja mereka melakukan hal-hal yang tidak normative dan
bisa pula merasa sangat ketakutan terhadap lingkungan sekitarnya (Pratiwi
dan Murtiningsih, 2013: 57).
Karakteristik anak tunalaras menurut Eli. M. Bower (dalam Pratiwi
dan Murtiningsih, 2013: 58),
adalah memenuhi satu atau lebih sikap dan perilaku sebagai berikut.
a. Ketidakmampuan untuk belajar, padahal secara
intelektual, sensori dan kesehatan tidak ada masalah.
b. Memiliki hubungan yang buruk dengan guru dan
teman-temannya.
c. Memiliki pemikiran, perasaan dan tingkah laku
yang tidak pada tempatnya.
d. Keadaaan pervasive,
sedih, dan depresi.
Anak-anak tunalaras jarang terlihat gembira. Walaupun
tertawa, biasanya hanya karena keberhasilan mereka melakukan tindakan yang bisa
merugikan orang lain.
e. Terdapat gejala-gejala fisik yaitu kesakitan
dan ketakutan terhadap oaring lain atau lembaga sekolah.
Anak tunalaras memilii ketakutan yang akut sehingga
menimbulkan ras sakit pada fisik mereka. Sakit perut, nyeri, pusing dan
semacamnya sering hadir saat mereka bertemu dengan orang atau stimulus yang
ditakutinya.
Karakteristik di atas tidak sepenuhnya dimiliki oleh
setiap anak tunalaras. Ada beberapa anak tunalaras memiliki karakteristik
tertentu sesuai dengan jenis gangguan kepribadian dan emosi yang dialaminya
yaitu sebagai berikut.
a. Gangguan Emosi
Anak tunalaras memiliki emosi yang
temperamental,tidak sesuai dengan norma sekitar, dan ekstrem, yaitu sebagai
berikut.
a) Sering merasa ketakutan tanpa sebab, bahkan
tanpa objek atau ancaman apapun.
b) Kekhawatiran dan ketakutan yang berlebihan
terhadap satu objek atau keadaan tertentu.
c) Merasa nervous atau terlihat gugup dan cemas,
yang ditampakkan dalam perilaku tidak wajar.
d) Memiliki sifat iri hati dan dengki, merasa
tidak suka melihat kebahagiaan dan kesuksesan yang dialami oleh orang lain.
e) Tanpa sebab merusak benda-benda yang ada
disekitarnya.
f) Rasa malu yang berlebihan, kurang bertanggung
jawab, serta sulit menerima tuntutan terkait dengan tugas dan kewajibannya.
g) Merasa minder dan rendah diri yang telalu,
tetapi justru karena inilah mereka kemudian melanggar aturan, norma, dan bahkan
hokum yang berlaku.
b. Gangguan sosial
Anak tunalaras sering kali bertentangan
dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Sikapnya yang arogan, kasar, berkata
buruk, sampai melakukan tindakan criminal. Gangguan sosial ini membuat
anak-anak tunalaras tidak bisa diterima dilingkungannya. Jika kemudian mereka
bertemu dengan anak-anak sejenis, yang terjadi adalah pembentukan genk yang
menyebabkan kerusuhan dan kejahatan.
Sedangkan Beberapa karakteristik
yang menonjol dari anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami perilaku sosial
ini (dalam Suparno, 2007) adalah.
a.
Karakteristik Umum
a)
Mengalami gangguan perilaku; suka
berkelahi, memukul, menyerang, merusak milik sendiri atau orang lain, melawan,
sulit konsentrasi, tidak mau bekerjasama, sok aksi, ingin menguasai orang lain,
mengancam, berbohong, tidak bisa diam, tidak dapat dipercaya, suka mencuri,
mengecek, dan sebagainya.
b)
Mengalami kecemasan; khawatir, cemas,
ketakutan, merasa tertekan, tidak mau bergaul, menarik diri, kurang percaya
diri, bimbang, sering menangis, malu, dan sebagainya.
c)
Kurang dewasa; suka berfantasi,
beragan-agan, mudah dipengaruhi, kaku, pasif, suka mengantuk, mudah bosan, dan
sebagainya.
d)
Agresif; memiliki geng jahat, suka mencuri
dengan kelompoknya, loyal terhadap teman jahat, sering bolos sekolah, sering
pulang larut malam, dan terbiasa minggat dari rumah.
b.
Sosial/Emosi
a)
Sering melanggar norma masyarakat.
b)
Sering menganggu dan bersifat agresif.
c)
Secara emosional sering merasa rendah diri
dan mengalami kecemasan.
c.
Karakteristik akademik
a)
Hasil belajarnya sering kali jauh dibawah
rata-rata.
b)
Seringkali tidak naik kelas.
c)
Sering membolos sekolah.
d)
Seringkali melanggar peraturan sekolah dan
lalulintas.
3. Kelainan Akademik
Karakteristik anak
berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan akademik yaitu anak berbakat dan
anak yang berkesulitan belajar.
1)
Karakteristik Anak Berbakat
Menurut Pratiwi
dan Murtiningsih (2013: 70),
anak berbakat merupakan anak-anak yang diidentifikasi oleh para psikolog
sebagai anak yang memiliki kemampuan yang sangat menonjol. Anak-anak berbakat
memiliki kemampuan, talenta, dan pemikiran diatas rata-rata anak seusia mereka.
Anak berbakat dapat dibedakan menjadi tiga golongan yang sesuai dengan tingkat
intelegensi dan kekhasan masing-masing, yaitu superior (memiliki tingkat
intelegensi diatas rata-rata anak normal) dimana mereka memiliki tingkat
intelegensi antara 110-125. Daya tangkap terhadap pelajaran atau akademis
tampak benar pada anak-anak superior. Cirri lainnya anak superior memiliki rasa
percaya diri yang tinggi, verbal yang cukup baik, dan kemampuan mencapai
prestasi dengan latihan yang cukup intensif; Gifted (anak berbakat) memiliki
tingkat intelegensi antara 125-140. Anak-anak ini bukan hanya menampakkan
superioritas dalam bidang akademis saja, melainkan pula memiliki bakat-bakat
tertentu yang sangat besar. Kadangkala bakat yang dimiliki oleh anak gifted
sangat menonjol sehingga mereka lebih fokus untuk mengembangkannya dibandingkan
dengan menekuni potensi dibidang akademis. Anak gifted memiliki kegemaran yang
kadangkala terlihat kuno bagi anak seusianya, misalnya membaca dan melakukan
penelitian; Genius memiliki intelegensi di atas 140. Kekuatan daya pikirnya
sangat melebihi orang-orang lain disekitarnya yang berada di tingkat kecerdasan
rata-rata. Anak-anak genius memiliki pola pikir yang luar biasa, hampir tak
terjangkau oleh manusia pada umumnya. Anak-anak genius bisa menciptakan suatu
yang hebat, bermanfaat, tetapi dapat juga membawa bencana. Mereka memiliki ego
yang supertinggi, emosi mudah tersulut, dan menolak apa yang menurut mereka
tidak masuk akal, menutup diri karena menganggap orang lain tidak lebih baik
dari mereka. Anak-anak genius memang istimewa, mereka memiliki pemikiran
abstrak yang menakjubkan, sangat kreatif, memiliki ide spektakuler dan beragam,
inovatif, dan memiliki kemampuan untuk merealisasikannya.
Sedangkan menurut Suparno (2007), anak
berbakat dalam konteks ini adalah anak-anak yang mengalami kelainan intelektual
diatas rata-rata. Berkenaan dengan kemampuan intelektual ini Cony Semiawan (dalam
Suparno, 2007) mengemukakan, bahwa diperkirakan satu persen dari total penduduk
Indonesia yang rentangan IQ sekitar 137 ke atas, merupakan manusia berbakat
tinggi (highly gifted), sedangkan mereka yang rentangannya berkisar 120-137
yaitu yang mencangkup rentangan 10% dibawah yang satu persen itu disebut moderately
gifted. Mereka semua memiliki talen akademik (academic talented) atau
keberkatan intelelektual.
Beberapa
karakteristik yang menonjol dari anak-anak berbakat sebagaimana diungkapkan
Kitato dan Kirby, dalam Mulyono (1994), yaitu sebagai berikut.
a.
Karakteristik Intelektual
a)
Proses belajarnya sangat cepat.
b)
Tekun dan rasa ingin tahunya sangat besar.
c)
Rajin membaca.
d)
Memiliki perhatian yang lama dalam suatu
bidang khusus.
e)
Memiliki pemahaman yang sangat maju
terhadap suatu konsep.
f)
Memiliki sifat kompetitif yang tinggi
dalam suatu bidang akademik.
b.
Karakteristik Sosial-emosional
a)
Mudah diterima teman-teman sebaya dan
orang dewasa.
b)
Melibatkan diri dalam berbagai kegiatan
sosial, dan memberikan sumbangan pemikiran yang konstruktif.
c)
Kecenderungan sebagai pemisah dalam suatu
pertengkaran.
d)
Memiliki kepercayaan tentang persamaan
deraja semua orang dan jujur.
e)
Perilakunya tidak defensif dan memiliki
tenggang rasa.
f)
Bebas dari tekanan emosi, dan mampu
mengontrol emosinya sesuai situasi, dan merangsang perilaku produktif bagi
orang lain.
g)
Memiliki kapasitas yang luar biasa dalam
menanggulangi masalah sosial.
Dicontohkan
pula oleh Kirk bahwa anak yang berbakat dalam hal sosial dan emosi, bahwa
seorang anak berusia 10 tahun memperlihatkan kemampuan sosial dan emosi (sikap periang,
bersemangat, kooperatif, bertanggung jawab, mengerjakan tugasnya dengan baik,
membantu temannya yang kurang mampu, dan akrab dalam bermain). Dan sikap yang
diperlihatkannya itu sama dengan sikap anak normal usia 16 tahun.
c.
Karakteristik Fisik-kesehatan
a)
Berpenampilan rapi dan menarik.
b)
Kesehatannya berada lebih baik diatas
rata-rata
Dicontohkan
pula oleh Kirk bahwa seorang anak berbakat usia 10 tahun memiliki tinggi dan
berat badan sama dengan usianya. Yang menunjukkan perbedaan adalah koordinasi
geraknya sama dengan anak normal usia 12 tahun. Mereka juga memperlihatkan
sifat rapi.
Karakteristik anak
berbakat secara umum seperti diungkapkan oleh Renzulli, 1981 (dalam Sisk, 1987)
menyatakan bahwa keberbakatan menunjukkan keterkaitan tiga kelompok ciri-ciri,
yaitu.
a.
Kemampuan kecerdasan jauh diatas
rata-rata.
b.
Kreatifitas tinggi
c.
Tanggung jawab atau pengikatan diri
terhadap tugas.
Masing-masing
ciri mempunyai peran yang menentukan. Seseorang dikatakan berbakat intelektual
jika mempunyai intelegensi tinggi. Sedangkan kreatifitas adalah sebagai
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, memberikan gagasan baru,
kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan yang baru antara unsure-unsur yang
sudah ada. Demikian pula, berlaku bagi pengikatan diri terhadap tugas. Hal
inilah yang mendorong seseorang untuk tekun dan ulet meskipun mengalami
berbagai rintangan dan hambatan karena ia telah mengikatkan diri pada tugas
atas kehendaknya sendiri.
2)
Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar
Anak berkesulitan
belajar (Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 64) memiliki intelegensi tinggi tetapi
bernilai akademis buruk. Anak kesulitan belajar diartikan sebagai seorang anak
yang sulit menerima pembelajaran secara akademis maupun non formal karena
adanya gangguan kemampuan dasar psikologis tertentu.
Berkesulitan
belajar (Suparno, 2007) merupakan salah satu jenis anak berkebutuhan khusus
yang ditandai dengan adanya kesulitan untuk mencapai standar kompetensi
(prestasi) yang telah ditentukan dengan mengikuti pembelajaran konvensional.
Learning disability merupakan suatu istilah yang mewadahi kesulitan yang
dialami anak terutama yang berkaitan dengan masalah akademis.
Secara umum
berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang mengalami gangguan pada suatu
atau lebih dari proses psikologi dasar termasuk pemahaman dalam menggunakan
bahasa lisan atau tertulis dimanifestasikan dalam ketidak sempurnaan mendengar,
berfikir, wicara, membaca, mengeja atau mengerjakan hitungan matematika. Konsep
ini merupakan hasil dari gangguan persepsi, disfungsi minimal otak, disleksia,
dan dysphasia, kesulitan belajar ini tidak termasuk masalah belajar, yang
disebabkan secara langsung oleh adanya gangguan penglihatan, pendengaran,
motorik, emosi, keterbelakangan mental, atau factor lingkungan, budaya maupun
keadaan ekonomi.
Dimensinya
mencakup;
a.
Disfungsi pada susunan syaraf pusat atau
otak
b.
Kesenjangan (discrepancy) antara potensi
dan prestasi
c.
Keterbatasan proses psikologis
d.
Kesulitan pada tugas akademik dan belajar
Kesenjangan antara
potensi dan prestasi dalam berprestasi untuk mencapai kompetensi yang telah
ditetapkan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar adalah setiap
anak yang tidak mampu mencapai kompetensi yang telah ditentukan dengan
menggunakan pembelajaran konvensional.
Untuk memahami
anak berkesulitan belajar spesifik memang harus mengenal karakteristik atau ciri-ciri
khusus yang muncul pada anak-anak berkesulitan belajar, yang umumnya baru
terdeteksi setelah anak usia 8-9 tahun atau kelas 3-4 SD masuk pada kelompok
kesulitan belajar akademik, hal ini dikarenakan sulitnya mengenal karakteristik
anak sejak dini. Adapun karakteristik yang dapat diamati adalah adanya
kesenjangan (discrepancy) antara potensi anak dengan prestasi (akademik) dan
perkembangan yang dicapai, kesenjangan ini minimal 2 level akademik atau 2
tahun perkembangan. Memiliki kesulitan pada satu bidang akademik/perkembangan
yang tertinggal dibandingkan dengan bidang akademik/perkembangan lain yang
dimiliki anak (perbedaan intra individual).
Sumber:
Wardani,
dkk. 2007. Pengantar Pendidikan Luar
Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka
Pratiwi,
Ratih Putrid an Afin Murtiningsih. 2013. Kiat
Sukses Mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Suparno. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta:
Dirjen Dikti Depdiknas.
0 komentar:
Post a Comment