Thursday, October 15, 2015

KARAKTERISTIK ANAK BERKEMAMPUAN KHUSUS

KARAKTERISTIK ANAK BERKEMAMPUAN KHUSUS

1.        Kelainan Fisik
Anak yang memiliki kekurangan fisik termasuk dalam kategori anak berkebutuhan khusus. Hal ini karena kekurangan fisik yang dimiliki seseorang menghambat interaksinya dengan lingkungan. Maka anak dengan kekurangan fisik membutuhkan layanan khusus agar bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya (Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 17). Karakteristik anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan fisik, yaitu tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa.
1)        Karakteristik Anak Tunanetra
Anak tunanetra adalah anak-anak yang mengalami kelainan atau gangguan fungsi pengelihatan, yang dinyatakan dengan tingkat ketajaman pengelihatan atau visus sentralis di atas 20/200 dan secara pedagogis membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajarnya di sekolah (Suparno, 2007). Tunanetra merupakan salah satu klasifikasi bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus dengan ciri adanya hambatan pada indra penglihatan (Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 17). Berkaitan dengan hal psikologis, anak-anak berkebutuhan khusus ini lebih sering pula mengalami gangguan. Secara kognitif, gangguan yang dialami misalnya salah dalam mempersepsikan sesuatu. Dalam hal kemampuan motorik tentu saja hambatannya juga tinggi seperti pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan mengetahui adanya bahaya dan cara menghadapinya, keterampilan gerak yang serba terbatas, serta kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu. Secara emosional, anak-anak penyandang tunanetra mengalami hambatan dalam pengelolaan emosi. Perkembangan emosi anak tunanetra sering terhambat karena mereka masih harus banyak belajar untuk menyatakan emosi dengan tepat. Secara sosial pun mereka pasti akan lebih sulit untuk melakukan penyesuaian diri di masyarakat. Hambatan tersebut misalnya minder, takut atau cemas jika ditolak atau dicaci, malu, hingga rendahnya motivasi.
Beberapa karakteristik anak-anak tunanetra, (Suparno, 2007) adalah sebagai berikut.
a.    Segi Fisik
Secara fisik anak-anak tunanetra, nampak sekali dari adanya kelainan pada organ pengelihatan atau mata, yang secara nyata dapat dibedakan dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal ini terlihat dari aktivitas mobilitas dan respon motorik yang merupakan umpan balik dari stimuli visual.
b.    Segi Motorik
Hilangnya indera pengelihatan sebenarnya tidak berpengaruh secara langsung terhadap keadaan motorik anak tunanetra, tetapi dengan hilangnya pengalaman visual menyebabkan tunanetra kurang mampu melakukan orientasi lingkungan. Sehingga tidak seperti anak-anak normal, anak tunanetra harus belajar bagaimana berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.
c.    Perilaku
Kondisi tunanetra tidak secara langsung menimbulkan masalah atau penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal tersebut berpengaruh pada perilakunya. Anak tunanetra sering menunjukkan perilaku stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak semestinya. Manifestasi perilaku tersebut dapat berupa sering menekan matanya, membuat suara dengan jarinya, menggoyang-goyangkan kepala dan badan, atau berputar-putar. Ada beberapa teori yang mengungkapkan mengapa tunanetra kadang-kadang mengembangkan perilaku stereotipnya. Hal itu terjadi mungkin sebagai akibat dari tidak adanya rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak di dalam lingkungan, serta keterbatasan sosial. Untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka memperbanyak aktifitas, atau dengan mempergunakan strategi perilaku tertentu, seperti memberikan pujian atau alternatif pengajaran, perilaku yang lebih positif, dan sebagainya.
d.   Akademik
Secara umum kemampuan akademik, anak-anak tunanetra sama seperti anak-anak normal pada umumnya. Keadaan ketunanetraan berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Dengan kondisi yang demikian, maka tunanetra mempergunakan berbagai alternatif media atau alat untuk membaca dan menulis, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin mempergunakan huruf Braille atau huruf cetak dengan berbagai alternative ukuran. Dengan asesmen dan pembelajaran yang sesuai, tunanetra dapat mengembangkan kemampuan membaca dan menulisnya seperti teman-teman lainnya yang dapat melihat.
e.    Pribadi dan Sosial
Mengingat tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan menirukan, maka anak tunanetra sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar.
Sebagai akibat dari ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial, anak tunanetra perlu mendapatkan latihan langsung dalam bidang pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik, mempergunakan gerakkan tubuh dan ekspresi wajah, mempergunakan intonasi suara atau wicara dalam mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada waktu melakukan komunikasi.
Pengelihatan memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tetapi tunanetra mempunyai keterbatasan dalam melakukan gerakan tersebut. Keterbatasan tersebut mengakibatkan keterbatasan dalam memperoleh pengalaman dan juga berpengaruh pada hubungan sosial. Dari keadaan tersebut mengakibatkan tunanetra lebih terlihat memiliki sikap:
a)    Curiga yang berlebihan pada orang lain, ini disebabkan oleh kekurangmampuannya dalam berorientasi terhadap lingkungannya.
b)   Mudah tersinggung. Akibat pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan atau mengecewakan yang sering dialami, menjadikan anak-anak tunanetra mudah tersinggung.
c)    Ketergantungan pada orang lain. Anak-anak tunanetra umumnya memiliki sikap ketergantungan yang kuat pada orang lain dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Kondisi yang demikian umumnya wajar terjadi pada anak-anak tunanetra berkenaan dengan keterbatasan yang ada pada dirinya.

2)        Karakteristik Anak Tunarungu
Menurut Suparno (2007), tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ pendengaran atau telinga seseorang anak. Disamping itu, penyandang kelainan pendengaran atau tunarungu, yaitu orang yang mengalami kehilangan kemampuan pendengaran, baik sebagian (hard of hearing) maupun keseluruhan (deaf) (Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 26). Seseorang yang masuk kategori hard of hearing, yaitu orang yang mengalami kehilangan pendengaran <90 Db dan harus menggunakan alat bantu dengar untuk membantu pendengarannya. Sementara orang yang masuk kategori deaf, yaitu orang yang mengalami kehilangan pendengaran hingga 90 Db2 dan organ pendengarannya sudah tidak mampu lagi mendengarkan suara apa pun.
Pada umumnya, seseorang yang menderita tunarungu juga akan menderita tunawicara. Hal ini berkaitan erat dengan proses perkembangan bahasa yang harus dilalui seorang anak. Jika ketajaman pendengaran terbatas, akan menghalangi proses peniruan bahasa semasa anak–anak. Menurut Kosasih (dalam Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 27), proses peniruan hanya terbatas secara visual, sebab pada anak–anak penyandang tunarungu, segala bentuk rangsangan suara tidak dapat diterima dengan baik. Alhasil mereka pun sulit menghasilkan suara seperti yang ada disekitarnya. Disamping itu, hal yang membedakan anak normal dengan anak berkebutuhan khusus penyandang tunarungu ialah ketidaksinkronan antara penerima stimulus dan bentuk respon yang dihasilkan terhambat oleh lemahnya atau bahkan hilangnya ketajaman pendengaran.
Kondisi ini menyebabkan mereka memiliki karakteristik yang khas, berbeda dari anak-anak normal pada umumnya. Beberapa karakteristik anak tunarungu (Suparno, 2007), diantaranya adalah :


a.    Segi Fisik
a)    Cara berjalanannya kaku dan agak membungkuk. Akibat terjadinya permasalahan pada organ keseimbangan pada telinga, menyebabkan anak-anak tunarungu mengalami nkekurangseimbangan dalam aktivitas fisiknya.
b)   Pernapasannya pendek, dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak pernah mendengarkan suara-suara dalam kehidupan sehari-hari., bagaimana bersuara atau mengucapkan kata-kata dengan intonasi yang baik, sehingga mereka juga tidak terbiasa mengatur pernapasannya dengan baik, khususnya dalam berbicara.
c)    Cara melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan salah satu indera yang paling dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu, dimana sebagian besar pengalamannya diperoleh melalui penglihatan. Oleh karena itu anak-anak tunarungu juga dikenal sebagai anak visual, sehingga cara melihatpun selalu menunjukan keingintahuan yang besar dan terlihat beringas.
b.    Segi Bahasa
a)    Miskin akan kosa kata.
b)   Sulit mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan, atau idiomatic.
c)    Tata bahasanya kurang teratur.
c.    Intelektual
a)    Kemampuan intelektualnya normal. Pada dasarnya anak-anak tunarungu tidak mengalami permasalahan dalam segi intelektual. Namun akibat keterbatasan dalam berkomunikasi dan berbahasa, perkembangan intelektual menjadi lamban.
b)   Perkembangan akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa. Seiring terjadinya kelambanan dalam perkembangan intelektualnya akibat adanya hambatan dalam berkomunikasi, maka dalam segi akademiknya juga mengalami keterlambatan.


d.   Sosial-emosional
a)    Sering merasa curiga dan buruk sangka. Sikap seperti ini terjadi akibat adanya kelainan fungsi pendengarannya. Mereka tidak dapat memahami apa yang dibicarakan orang lain, sehingga anak-anak tunarungu mudah merasa curiga.
b)   Sering bersikap agresif.

3)        Karakteristik Tunawicara
Kesulitan wicara biasanya dialami anak-anak yang juga menderita kelainan pendengaran. Seseorang yang organ pendengarannya tidak berfungsi dengan baik, otomatis tidak dapat mempelajari bunyi-bunyian yang ada disekitarnya. Maka, untuk menghasilkan suara atau mengatakan sesuatu akan turut terhambat. Menurut Kosasih (dalam Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 31), gangguan kesulitan wicara yang sering dijumpai kesalahan adalah dalam pengucapan fonem, baik dalam posisi depan, tengah, maupun belakang. Menurut Abdurrachman dan Sudjadi (1994), gangguan wicara atau tunawicara adalah suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dari bunyi bicara dan atau kelancaran berbicara.
Gangguan bicara atau bisu diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk berbicara. Bisu disebabkan oleh gangguan pada organ-organ, seperti tenggorokan, pita suara, paru-paru, mulut, lidah dan sebagainya. gangguan bicara bisa juga diartikan sebagai adanya keterlambatan pada anak dalam menggunakan bahasa sehari-hari. Keterlambatan yang dimaksud, yakni anak tidak mengalami perkembangan dalam pemerolehan bahasa sesuai tahapan perkembangan usianya. Bentuk keterlambatan dapat dideteksi dari hal-hal sederhana, seperti anak mengeluarkan suara yang sengau, tidak mampu menggunakan bahasa yang sering diucapkan anggota keluarga, sulit dalam mengucapkan sesuatu, dan adanya ketidakmampuan mekanisme oral-motor saat makan.
Beberapa perilaku berikut termasuk kategori gangguan wicara, antara lain sebagai berikut.
a.    Gangguan perkembangan artikulasi adalah suatu kondisi ketika suara atau bahasa yang digunakan seseorang diganti, dihilangkan, ditambah, atau didistorsikan. Sementara kelainan suara merupakan kelainan karena seseorang tidak menggunakan suara wicara secara semestinya atau sesuai dengan aturan standar.
b.    Gagap merupakan gangguan bicara yang disebabkan arus bicara terganggu karena adanya perpanjangan atau pengulangan suara, suku kata, kata, ataupun frasa. Seseorang yang gagap akan sulit mengungkapkan apa yang akan dibicarakannya.
c.    Terlambat bicara dan bahasa merupakan keadaan seorang anak yang belum mampu menguasai keterampilan berbicara diatas usia normal (sekitar 2 tahun). Hal ini bisa disebabkan oleh factor bawaan dan factor lingkungan yang kurang memberikan contoh maupun stimulasi kepadanya.
d.   Gangguan dyspasia dan aphasia adalah terjadinya ketidakmampuan seseorang untuk berbicara karena adanya cedera pada otak.
e.    Gangguan disintegratif pada anak-anak merupakan gangguan kompleks yang memperngaruhi berbagai bidang perkembangan bahasa.
f.     Gangguan multisystem development disorder merupakan gangguan pada anak yang menyebabkan mereka memiliki permasalahan sosial, komunikasi, dan proses sensori terhadap satu hal atau benda.

4)        Karakteristik Tunadaksa
Tunadaksa atau cacat fisik addalah sebutan bagi orang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuhnya karena factor bawaan sejak lahir (dalam Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 38). Gangguan yang dialami menyerang kemampuan motorik mereka. Gangguan yang tejadi mulai dari gangguan otot, tulang, sendi dan atau sistem saraf yang mengakibatkannya kurang optimalnya fungsi komunikasi, mobilitas, sosialisasi, dan perkembangan keutuhan pribadi Rachmayana (dalam Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 38).
Ketunadaksaan yang dialami seseorang, baik sejak lahir maupun selama proses kehidupan setelah kelahiran, sama-sama memiliki pengaruh psikologis. Secara psikologis, mereka cenderung lebih merasa rendah diri, apatis, sensitif, dan kadang muncul egoisme yang tinggi. Bentuk-bentuk perilaku tersebut merupakan cara mereka untuk menutupi kecemasan atas ketidaksempurnaan yang dimiliki dan takut tidak diterima di lingkungan.
Berikut ini ciri-ciri yang dimiliki penyandang tunadaksa (Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 41), yaitu sebagai berikut.
a.    Segi motorik
Anak penyandang tundaksa secara motorik mengalami banyak hambatan antara lain sukar berjalan, bergerak, berpindah tempat, dan sering tidak mampu mengontrol koordinasi tubuh.  
b.    Segi sensoris
Otak merupakan pusat sensoris pada manusia. Bagaimana tubuh manusia bisa melihat, mendengar, berbicara, dan bergerak semuanya berpusat di otak. Jika otak mengalami gangguan, akan menyebabkan kelainan di bagian-bagian saraf yang lain. Seperti gangguan penglihatan, pendengaran, dan saraf-saraf lain yang menghubungkan dengan sendi-sendi atau otot tubuh. Pada penderita Cerebral Palsy, misalnya akan mengalami kelainan penglihatan berupa juling, penglihatan ganda strabismusm, miopi, presbiopi dan rabun.
c.    Segi kognisi
Secara kognisi, penyandang tunadaksa kategori Cerebral Palsy memiliki rentang kecerdasan tertentu mulai dari yang rendah hingga tinggi. Level kecerdasan paling rendah disebut idiot. Sementara untuk level kecerdasan paling tinggi disebut gifted atau anak berbakat.
d.   Segi persepsi
Persepsi berhubungan dengan keutuhan indra dan proses pengolahan di otak. Proses ini tidak sempurna pada anak penyandang tunadaksa. Kecacatan fisik akibat kecelakaan maupun kelainan pada otak yang menyebabkan keabnormalan fisik juga mempengaruhi fungsi persepsi anak. Anak-anak penyandang tunadaksa dalam menanggapi stimulus sering tidak sinkron dengan respons yang dihasilkan. Hal ini karena terdapat gangguan pada saraf penghubung dan jaringan saraf otak pada anak tunadaksa Cerebral Palsy.
e.    Segi emosi dan sosial
Anak-anak yang teridentifikasi tunadaksa sering mengalami gangguan atau masalah emosi. Berkaitan dengan konsep diri, mereka sering merasa malu, rendah diri, dan sensitif. Konsep diri yang salah ini akhirnya menumbuhkan gaya berhubungan sosial yang keliru. Ketika mereka memandang diri sendiri rendah, yang muncul adalah sikap defense ketika berbaur dengan orang lain. 
Sedangkan menurut Suparno (2007), anak tunadaksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau cacat tubuh, yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami kelainan anggota gerak dan kelumpuhan yang disebabkan karena kelainan yang ada di syaraf pusat atau otak, disebut sebagai cerebral palcsy (CP), dengan karakteristik sebagai berikut.
a.    Gangguan motorik
Gangguan motoriknya berupa kekakuan, kelumpuhan, gerakan yang tidak dapat dikendalikan, gerakan ritmis dan gangguan keseimbangan. Gangguan motorik ini meliputi gangguan motorik kasar dan halus.
b.    Gangguan sensorik
Pusat sensoris pada manusia terletak pada otak, mengingat anak cerebral palcsy adalah anak yang mengalami kelainan di otak, maka sering anak cerebral palcsy disertai gangguan sensorik. Beberapa gangguan sensorik antara lain penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan perasa. Gangguan penglihatan pada cerebral palcsy terjadi karena ketidakseimbangan otot-otot mata sebagai akibat kerusakan otak. Gangguan pendengaran pada anak cerebral palcsy sering dijumpai pada jenis athetoid.
c.    Gangguan tingkat kecerdasan
     Walaupun anak cerebral palcsy disebabkan karena kelainan otaknya tetapi keadaan kecerdasan anak cerebral palcsy mulai dari tingkat yang paling rendah sampai gifted. Sekitar 45% mengalami keterbelakangan mental, dan 35% lagi memiliki tingkat kecerdasan normal diatas rata-rata, dan sisanya di bawah rata-rata.
d.   Kemampuan Berbicara
Anak cerebral palcsy mengalami gangguan wicara yang disebabkan oleh kelainan motorik otot-otot wicara terutama pada organ artikulasi seperti lidah, bibir, rahang bawah, dan ada pula yang terjadi karena kurang dan tidak terjadi proses interaksi dengan lingkungan. Dengan keadaan yang demikian maka keadaan anak-anak cerebral palcsy menjadi tidak jelas dan sulit diterima orang lain.
e.    Emosi dan Penyesuaian Sosial
Respon dan sikap masyarakat terhadap kelainan pada anak cerebral palcsy, mempengaruhi pembentukan pribadi anak secara umum. Emosi anak sangat bervariasi, tergantung rangsangan yang diterimanya. Secara umum tidak terlalu berbeda dengan anak-anak normal, kecuali beberapa kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dapat menimbulkan emosi yang tidak terkendali. Sikap atau penerimaan masyarakat terhadap anak cerebral palcsy dapat memunculkan keadaan anak yang merasa rendah diri atau kepercayaan dirinya kurang, mudah tersinggung, dan suka menyendiri, serta kurang dapat menyesuaikan diri dan bergaul dengan lingkungan.
Sedangkan anak-anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan kerusakan pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio dan muscle bystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik terutama gerakan lokomosi, gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagaian anak dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan sedang. Untuk berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak. Dalam kehidupan sehari-hari anak perlu bantuan dan alat yang sesuai. Keadaan kapasitas kemampuan intelektual anak yang mengalami gangguan gerak otot ini tidak berbeda dengan anak normal.

2.      Kelainan Mental-Emosional
Karakteristik anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan mental emosional, yaitu anak tunagrahita, dan tunalaras.
1)      Karakteristik Anak Tunagrahita
Tunagrahita (Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 45), merupakan istilah bagi mereka yang memiliki keterbelakangan mental. Banyak istilah lain yang dikaitkan dengan tunagrahita, yaitu lemah pikiran, keterbelakangan mental, mampu didik, mampu latih, ketergantungan penuh, mental subnormal, defisit mental dan defisit kognitif, cacat mental atau defisiensi, dan gangguan intelektual. Ada beberapa ciri yang mengikuti keterbelakangan mental, sebagai berikut.
a.    Memiliki IQ di bawah normal, yaitu sekitar di bawah 80.
b.    Tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan (adaptasi rendah).
c.    Tidak mampu memikirkan permasalahan yang berbelit dan abstrak.
d.   Lemah dalam pelajaran yang bersifat akademik, seperti menulis, membaca, berhitung, dan turunannya.
Karakteristik anak tunagrahita secara umum menurut James D. Page (dalam Suparno, 2007), dicirikan dalam hal: kecerdasan, sosial, fungsi mental, dorongan dan emosi, kepribadian serta organisme.
a.    Intelektual
Dalam pencapaian tingkat kecerdasan bagi tunagrahita selalu dibawah rata-rata dengan anak yang usia sama, demikian juga perkembangan kecerdasan sangat terbatas. Mereka hanya mampu mancapai tingkat usia mental setingkat usia mental anak sekolah Dasar kelas IV, atau kelas II, bahkan ada yang mampu mencapai tingkat usia mental setingkat usia mental anak pra sekolah. Dalam hal belajar, sukar memahami masalah. Masalah yang bersifat abstrak dan cara belajarnya banyak secara membeo (rote learning) bukan dengan pengertian.
b.    Segi sosial
Dalam kemampuan bidang sosial juga mengalami kelambatan kalau dibandingkan dengan anak normal sebaya. Hal ini ditunjukkan dengan pergaulan mereka tidak dapat mengurus, memelihara, dan memimpin diri. Semasa kanak-kanak mereka harus dibantu terus menerus, disuapi makanan, dipasangkan dan ditanggalkan pakaiannya, diawasi terus-menerus, setelah dewasa kepentingan ekonominya sangat bergantung pada bantuan orang lain. kemampuan sosial mereka ditunjukkan dengan social age (SA) yang sangat kecil dibandingkan dengan chronological age (CA). sehingga scor Social Quotient (SQ) nya rendah.
c.    Ciri pada fungsi mental lainnya
Mereka mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, jangkauan perhatiannya sangat sempit dan cepat beralih sehingga kurang tangguh dalam menanggapi tugas. Pelupa dan mengalami kesukaran mengungkapkan kembali suatu ingatan, kurang mampu membuat asosiasi serta sukar membuat kreasi baru
d.   Ciri dorongan dan emosi
Perkembangan dorongan emosi anak tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan tingkat ketunagrahitaannya masing-masing. Anak yang ketunagrahitaannya berat ataupun sangat berat hampir tidak memperlihatkan dorongan untuk mempertahankan diri, dalam keadaan haus dan lapar tidak menunjukkan tanda, mendapat perangsang yang menyakitkan tidak mampu menjauhkan diri dari perangsang tersebut. Kehidupan emosinya lemah, dorongan biologisnya dapat berkembang tetapi penghayatannya terbatas pada perasaan senang, takut, marah, dan benci. Anak yang tidak terlalu berat ketunagrahitaannya mempunyai emosi yang hampir sama dengan anak normal tetapi kurang kuat, kurang beragam, kurang mampu menghayati perasaan bangga, tanggungjawab dan hak sosial.
e.    Ciri kemampuan dalam bahasa
Kemampuan bahasa sangat terbatas perbendaharaan kata terutama kata yang abstrak. Pada anak yang ketunagrahitaannya semakin tinggi atau berat banyak yang mengalami gangguan bicara disebabkan cacat artikulasi dan problem dalam pembentukan bunyi.
f.     Ciri kemampuan dalam bidang akademis
Mereka sulit mencapai bidang akademis membaca dan menghitung yang problematis, tetapi dapat dilatih dalam menghitung yang bersifat perhitungan.
g.    Ciri kepribadian
Kepribadian anak tunagrahita dari berbagai penelitian oleh Leahy, Balla, dan Zigler (Hallahan & Kauffman, 1988:69) bahwa anak yang merasa retarded tidak percaya terrhadap kemampuannyan, tidak mampu mengontrol dan mengarahkan dirinya sehingga lebih banyak bergantung pada pihak luar (external locus of control). Mereka tidak mampu untuk mengarahkan diri sehingga segala sesuatu yang terjadi pada dirinya bergantung pengarahan dari luar.
h.    Ciri kemampuan dalam organisme
Kemampuan anak tunagrahita untuk mengorganisasi keadaan dirinya sangat jelek, terutama pada anak tunagrahita yang kategori berat. Hal ini ditunjukan dengan baru dapat berjalan dan berbicara pada usia dewasa, sikap gerak langkahnya kurang serasi, pendengaran dan pengelihatannya tidak dapat difungsikan, kurang rentan terhadap perasaan sakit, bau yang tidak enak, serta makanan yang tidak enak.
Sedangkan karakteristik anak tunagrahita, yang lebih spesifik berdasarkan berat ringannya kelainan, yaitu sebagai berikut.
a.    Mampudidik
Mampudidik merupakan istilah pendidikan yang digunakan untuk mengelompokkan tunagrahita ringan. Mampudidik memiliki kapasitas intelegensi antara 50-70 pada skala Binet maupun Weschler. Mereka masih mempunyai kemampuan untuk dididik dalam bidang akademik yang sederhana (dasar) yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Anak mampudidik kemampuan maksimalnya setara dengan anak usia 12 tahun atau kelas 6 sekolah dasar, apabila mendapatkan layanan dan bimbingan belajar yang sesuai maka anak mampudidik dapat lulus sekolah dasar. Anak mampu didik setelah dewasa masih memungkinkan untuk dapat bekerja mencari nafkah, dalam bidang yang tidak memerlukan banyak pemikiran. Tunagrahita mampudidik umumnya tidak disertai kelainan fisik baik sensori maupun motoris, sehingga kesan lahiriah anak mampudidik tidak berbeda dengan anak normal sebaya, bahkan sering anak mampu didik dikenal dengan terbelakang mental 6 jam. Hal ini dikarenakan anak terlihat terbelakang mental sewaktu mengikuti pelajaran akademik di sekolah saja, yang mana jam sekolah adalah 6 jam setiap hari.
b.    Mampulatih
Tunagrahita mampulatih secara fisik sering memiliki atau disertai dengan kelainan fisik baik sensori maupun motoris bahkan hampir semua anak yang memiliki kelainan dengan tipe klinik masuk pada kelompok mampulatih sehingga sangat mudah untuk mendeteksi anak mampulatih, karena penampilan fisiknya (kesan lahiriah) berbeda dengan anak normal sebaya. Anak mampulatih memiliki kapasitas intelegensi (IQ) berkisar antara 30-50, kemampuan tertingginya setara dengan anak normal usia 8 tahun atau kelas 2 SD. Kemampuan akademik anak mampulatih tidak dapat mengikuti pelajaran yang bersifat akademik walaupun secara sederhana seperti membaca, menulis dan berhitung. Anak mampulatih hanya mampu dilatih dalam ketrampilan mengurus diri sendiri dan aktifitas kehidupan sehari-hari.
c.    Perlurawat
Anak perlurawat adalah klasifikasi anak tunagrahita yang paling berat, jika pada istilah kedokteran disebut idiot. Anak perlurawat memiliki kapasitas intelegensi dibawah 25 dan sudah tidak mampu dilatih keterampilan. Anak ini hanya mampu dilatih pembiasaan (conditioning) dalam kehidupan sehari-hari. Seumur hidupnya tidak dapat lepas dengan orang lain.

2)      Karakteristik Anak Tunalaras
Anak tunalaras (dalam Suparno, 2007) adalah anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, yang ditunjukkan dalam aktifitas kehidupan sehari-hari baik disekolah maupun dalam lingkungan sosialnya. Pada hakikatnya anak-anak tunalaras memiliki kemampuan intelektual yang normal, atau tidak berada dibawah rata-rata. Kelainan lebih banyak terjadi pada perilaku sosialnya. Sedangkan Tunalaras adalah anak-anak yang mengalami gangguan kepribadian terlebih pada emosi mereka. Anak-anak ini akhirnya menjadi anak-anak yang kurang bisa diterima oleh lingkungan pergaulan. Hal ini karena mereka kurang bisa menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku. Ketika mereka merasa tertekan, bisa saja mereka melakukan hal-hal yang tidak normative dan bisa pula merasa sangat ketakutan terhadap lingkungan sekitarnya (Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 57).
Karakteristik anak tunalaras menurut Eli. M. Bower (dalam Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 58), adalah memenuhi satu atau lebih sikap dan perilaku sebagai berikut.
a.    Ketidakmampuan untuk belajar, padahal secara intelektual, sensori dan kesehatan tidak ada masalah.
b.    Memiliki hubungan yang buruk dengan guru dan teman-temannya.
c.    Memiliki pemikiran, perasaan dan tingkah laku yang tidak pada tempatnya.
d.   Keadaaan pervasive, sedih, dan depresi.
Anak-anak tunalaras jarang terlihat gembira. Walaupun tertawa, biasanya hanya karena keberhasilan mereka melakukan tindakan yang bisa merugikan orang lain.
e.    Terdapat gejala-gejala fisik yaitu kesakitan dan ketakutan terhadap oaring lain atau lembaga sekolah.
Anak tunalaras memilii ketakutan yang akut sehingga menimbulkan ras sakit pada fisik mereka. Sakit perut, nyeri, pusing dan semacamnya sering hadir saat mereka bertemu dengan orang atau stimulus yang ditakutinya.
Karakteristik di atas tidak sepenuhnya dimiliki oleh setiap anak tunalaras. Ada beberapa anak tunalaras memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan jenis gangguan kepribadian dan emosi yang dialaminya yaitu sebagai berikut.
a.    Gangguan Emosi
Anak tunalaras memiliki emosi yang temperamental,tidak sesuai dengan norma sekitar, dan ekstrem, yaitu sebagai berikut.
a)    Sering merasa ketakutan tanpa sebab, bahkan tanpa objek atau ancaman apapun.
b)   Kekhawatiran dan ketakutan yang berlebihan terhadap satu objek atau keadaan tertentu.
c)    Merasa nervous atau terlihat gugup dan cemas, yang ditampakkan dalam perilaku tidak wajar.
d)   Memiliki sifat iri hati dan dengki, merasa tidak suka melihat kebahagiaan dan kesuksesan yang dialami oleh orang lain.
e)    Tanpa sebab merusak benda-benda yang ada disekitarnya.
f)    Rasa malu yang berlebihan, kurang bertanggung jawab, serta sulit menerima tuntutan terkait dengan tugas dan kewajibannya.
g)   Merasa minder dan rendah diri yang telalu, tetapi justru karena inilah mereka kemudian melanggar aturan, norma, dan bahkan hokum yang berlaku.
b.    Gangguan sosial
Anak tunalaras sering kali bertentangan dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Sikapnya yang arogan, kasar, berkata buruk, sampai melakukan tindakan criminal. Gangguan sosial ini membuat anak-anak tunalaras tidak bisa diterima dilingkungannya. Jika kemudian mereka bertemu dengan anak-anak sejenis, yang terjadi adalah pembentukan genk yang menyebabkan kerusuhan dan kejahatan.
Sedangkan Beberapa karakteristik yang menonjol dari anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami perilaku sosial ini (dalam Suparno, 2007) adalah.
a.    Karakteristik Umum
a)    Mengalami gangguan perilaku; suka berkelahi, memukul, menyerang, merusak milik sendiri atau orang lain, melawan, sulit konsentrasi, tidak mau bekerjasama, sok aksi, ingin menguasai orang lain, mengancam, berbohong, tidak bisa diam, tidak dapat dipercaya, suka mencuri, mengecek, dan sebagainya.
b)   Mengalami kecemasan; khawatir, cemas, ketakutan, merasa tertekan, tidak mau bergaul, menarik diri, kurang percaya diri, bimbang, sering menangis, malu, dan sebagainya.
c)    Kurang dewasa; suka berfantasi, beragan-agan, mudah dipengaruhi, kaku, pasif, suka mengantuk, mudah bosan, dan sebagainya.
d)   Agresif; memiliki geng jahat, suka mencuri dengan kelompoknya, loyal terhadap teman jahat, sering bolos sekolah, sering pulang larut malam, dan terbiasa minggat dari rumah.
b.    Sosial/Emosi
a)    Sering melanggar norma masyarakat.
b)   Sering menganggu dan bersifat agresif.
c)    Secara emosional sering merasa rendah diri dan mengalami kecemasan.
c.    Karakteristik akademik
a)    Hasil belajarnya sering kali jauh dibawah rata-rata.
b)   Seringkali tidak naik kelas.
c)    Sering membolos sekolah.
d)   Seringkali melanggar peraturan sekolah dan lalulintas.

3.      Kelainan Akademik
Karakteristik anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan akademik yaitu anak berbakat dan anak yang berkesulitan belajar.
1)      Karakteristik Anak Berbakat
Menurut Pratiwi dan Murtiningsih (2013: 70), anak berbakat merupakan anak-anak yang diidentifikasi oleh para psikolog sebagai anak yang memiliki kemampuan yang sangat menonjol. Anak-anak berbakat memiliki kemampuan, talenta, dan pemikiran diatas rata-rata anak seusia mereka. Anak berbakat dapat dibedakan menjadi tiga golongan yang sesuai dengan tingkat intelegensi dan kekhasan masing-masing, yaitu superior (memiliki tingkat intelegensi diatas rata-rata anak normal) dimana mereka memiliki tingkat intelegensi antara 110-125. Daya tangkap terhadap pelajaran atau akademis tampak benar pada anak-anak superior. Cirri lainnya anak superior memiliki rasa percaya diri yang tinggi, verbal yang cukup baik, dan kemampuan mencapai prestasi dengan latihan yang cukup intensif; Gifted (anak berbakat) memiliki tingkat intelegensi antara 125-140. Anak-anak ini bukan hanya menampakkan superioritas dalam bidang akademis saja, melainkan pula memiliki bakat-bakat tertentu yang sangat besar. Kadangkala bakat yang dimiliki oleh anak gifted sangat menonjol sehingga mereka lebih fokus untuk mengembangkannya dibandingkan dengan menekuni potensi dibidang akademis. Anak gifted memiliki kegemaran yang kadangkala terlihat kuno bagi anak seusianya, misalnya membaca dan melakukan penelitian; Genius memiliki intelegensi di atas 140. Kekuatan daya pikirnya sangat melebihi orang-orang lain disekitarnya yang berada di tingkat kecerdasan rata-rata. Anak-anak genius memiliki pola pikir yang luar biasa, hampir tak terjangkau oleh manusia pada umumnya. Anak-anak genius bisa menciptakan suatu yang hebat, bermanfaat, tetapi dapat juga membawa bencana. Mereka memiliki ego yang supertinggi, emosi mudah tersulut, dan menolak apa yang menurut mereka tidak masuk akal, menutup diri karena menganggap orang lain tidak lebih baik dari mereka. Anak-anak genius memang istimewa, mereka memiliki pemikiran abstrak yang menakjubkan, sangat kreatif, memiliki ide spektakuler dan beragam, inovatif, dan memiliki kemampuan untuk merealisasikannya. 
Sedangkan menurut Suparno (2007), anak berbakat dalam konteks ini adalah anak-anak yang mengalami kelainan intelektual diatas rata-rata. Berkenaan dengan kemampuan intelektual ini Cony Semiawan (dalam Suparno, 2007) mengemukakan, bahwa diperkirakan satu persen dari total penduduk Indonesia yang rentangan IQ sekitar 137 ke atas, merupakan manusia berbakat tinggi (highly gifted), sedangkan mereka yang rentangannya berkisar 120-137 yaitu yang mencangkup rentangan 10% dibawah yang satu persen itu disebut moderately gifted. Mereka semua memiliki talen akademik (academic talented) atau keberkatan intelelektual.
Beberapa karakteristik yang menonjol dari anak-anak berbakat sebagaimana diungkapkan Kitato dan Kirby, dalam Mulyono (1994), yaitu sebagai berikut.
a.    Karakteristik Intelektual
a)    Proses belajarnya sangat cepat.
b)   Tekun dan rasa ingin tahunya sangat besar.
c)    Rajin membaca.
d)   Memiliki perhatian yang lama dalam suatu bidang khusus.
e)    Memiliki pemahaman yang sangat maju terhadap suatu konsep.
f)    Memiliki sifat kompetitif yang tinggi dalam suatu bidang akademik.
b.      Karakteristik Sosial-emosional
a)    Mudah diterima teman-teman sebaya dan orang dewasa.
b)   Melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sosial, dan memberikan sumbangan pemikiran yang konstruktif.
c)    Kecenderungan sebagai pemisah dalam suatu pertengkaran.
d)   Memiliki kepercayaan tentang persamaan deraja semua orang dan jujur.
e)    Perilakunya tidak defensif dan memiliki tenggang rasa.
f)    Bebas dari tekanan emosi, dan mampu mengontrol emosinya sesuai situasi, dan merangsang perilaku produktif bagi orang lain.
g)   Memiliki kapasitas yang luar biasa dalam menanggulangi masalah sosial.
Dicontohkan pula oleh Kirk bahwa anak yang berbakat dalam hal sosial dan emosi, bahwa seorang anak berusia 10 tahun memperlihatkan kemampuan sosial dan emosi (sikap periang, bersemangat, kooperatif, bertanggung jawab, mengerjakan tugasnya dengan baik, membantu temannya yang kurang mampu, dan akrab dalam bermain). Dan sikap yang diperlihatkannya itu sama dengan sikap anak normal usia 16 tahun.
c.    Karakteristik Fisik-kesehatan
a)    Berpenampilan rapi dan menarik.
b)   Kesehatannya berada lebih baik diatas rata-rata
Dicontohkan pula oleh Kirk bahwa seorang anak berbakat usia 10 tahun memiliki tinggi dan berat badan sama dengan usianya. Yang menunjukkan perbedaan adalah koordinasi geraknya sama dengan anak normal usia 12 tahun. Mereka juga memperlihatkan sifat rapi.
Karakteristik anak berbakat secara umum seperti diungkapkan oleh Renzulli, 1981 (dalam Sisk, 1987) menyatakan bahwa keberbakatan menunjukkan keterkaitan tiga kelompok ciri-ciri, yaitu.
a.    Kemampuan kecerdasan jauh diatas rata-rata.
b.    Kreatifitas tinggi
c.    Tanggung jawab atau pengikatan diri terhadap tugas.
Masing-masing ciri mempunyai peran yang menentukan. Seseorang dikatakan berbakat intelektual jika mempunyai intelegensi tinggi. Sedangkan kreatifitas adalah sebagai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, memberikan gagasan baru, kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan yang baru antara unsure-unsur yang sudah ada. Demikian pula, berlaku bagi pengikatan diri terhadap tugas. Hal inilah yang mendorong seseorang untuk tekun dan ulet meskipun mengalami berbagai rintangan dan hambatan karena ia telah mengikatkan diri pada tugas atas kehendaknya sendiri.
2)        Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar
Anak berkesulitan belajar (Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 64) memiliki intelegensi tinggi tetapi bernilai akademis buruk. Anak kesulitan belajar diartikan sebagai seorang anak yang sulit menerima pembelajaran secara akademis maupun non formal karena adanya gangguan kemampuan dasar psikologis tertentu.
Berkesulitan belajar (Suparno, 2007) merupakan salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yang ditandai dengan adanya kesulitan untuk mencapai standar kompetensi (prestasi) yang telah ditentukan dengan mengikuti pembelajaran konvensional. Learning disability merupakan suatu istilah yang mewadahi kesulitan yang dialami anak terutama yang berkaitan dengan masalah akademis.
Secara umum berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang mengalami gangguan pada suatu atau lebih dari proses psikologi dasar termasuk pemahaman dalam menggunakan bahasa lisan atau tertulis dimanifestasikan dalam ketidak sempurnaan mendengar, berfikir, wicara, membaca, mengeja atau mengerjakan hitungan matematika. Konsep ini merupakan hasil dari gangguan persepsi, disfungsi minimal otak, disleksia, dan dysphasia, kesulitan belajar ini tidak termasuk masalah belajar, yang disebabkan secara langsung oleh adanya gangguan penglihatan, pendengaran, motorik, emosi, keterbelakangan mental, atau factor lingkungan, budaya maupun keadaan ekonomi.
Dimensinya mencakup;
a.    Disfungsi pada susunan syaraf pusat atau otak
b.    Kesenjangan (discrepancy) antara potensi dan prestasi
c.    Keterbatasan proses psikologis
d.   Kesulitan pada tugas akademik dan belajar
Kesenjangan antara potensi dan prestasi dalam berprestasi untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar adalah setiap anak yang tidak mampu mencapai kompetensi yang telah ditentukan dengan menggunakan pembelajaran konvensional.
Untuk memahami anak berkesulitan belajar spesifik memang harus mengenal karakteristik atau ciri-ciri khusus yang muncul pada anak-anak berkesulitan belajar, yang umumnya baru terdeteksi setelah anak usia 8-9 tahun atau kelas 3-4 SD masuk pada kelompok kesulitan belajar akademik, hal ini dikarenakan sulitnya mengenal karakteristik anak sejak dini. Adapun karakteristik yang dapat diamati adalah adanya kesenjangan (discrepancy) antara potensi anak dengan prestasi (akademik) dan perkembangan yang dicapai, kesenjangan ini minimal 2 level akademik atau 2 tahun perkembangan. Memiliki kesulitan pada satu bidang akademik/perkembangan yang tertinggal dibandingkan dengan bidang akademik/perkembangan lain yang dimiliki anak (perbedaan intra individual).

Sumber:
Wardani, dkk. 2007. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka
Pratiwi, Ratih Putrid an Afin Murtiningsih. 2013. Kiat Sukses Mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Suparno. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.


0 komentar:

Post a Comment